Skip to main content

Posts

Yang Belum Siap Menerima Segalanya

Sampai detik ini aku masih mengenangmu. Genggam tanganmu yang membuatku tegar. Tatap matamu yang meneduhkan. Senyummu yang menyemangatiku ketika aku akan jatuh. Semuanya begitu manis di ingatan. Apakah kau masih mengingat ketika kita bersama? Pernah kita hanya duduk berdua tanpa melakukan apa-apa. Kita hanya disibukkan dengan pikiran masing-masing. Kita hanya saling tatap, tak bersuara. Masih jelas tertanam di sini, bagaimana mata manjamu memandangku. Ingin kuhapus semua itu tapi aku tak bisa. Sejauh ini aku masih terpenjara padamu. Aku lelah. Aku gagal melangkah. Aku pernah mencintai seseorang. Sangat mencintainya. Karenanya aku tak bisa mengutarakan rasa di depannya. Saat aku melihat betapa orang di luar sana dengan mudahnya berkata cinta, kenapa aku tak bisa. Kata-kata cinta hanya menggema di dada. Mencabik seluruh organ tubuh. Sesak. Sesak yang tak terungkap. Maafkan aku yang tak pernah bilang cinta atau sayang kepadamu. Kau boleh menyebutku pengecut yang hanya mampu bicara me...

Elegi Malam Hari

Malam ini di bawah langit tak berbintang kutengadahkan kepala. Kupandang lemat kelamnya. Ada beberapa corak abu-abu pertanda air akan berjatuhan. Dingin tak terhingga seakan merobek hati yang sudah patah dan rusak. Semilir angin menghembuskan nafas isak sesak di dada. Embun kecil menemani air mata yang pelan mengalun. Sebuah elegi malam hari untuk yang sedang berduka. Beristirahatlah hati. Damaikan dirimu.

Luka yang Kembali Datang

Aku terbangun. Terjaga di kala seperti ini memang tidak mengenakkan. Di sisi lain aku memang butuh tidur untuk esok. Bukan hanya butuh tidur, aku hanya tak mau sekelebatan kenangan tentangmu muncul. Bahkan tahukah kau, jauh sebelum aku menulis ini, bayangmu telah muncul begitu saja. Manis. Tapi juga sesak. Aku mengenangmu. Aku ingat beberapa hari lalu aku jatuh cinta kepadamu. Kau tahu, aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Egokah aku bila aku menginginkan dirimu menjadi milikku seorang? Berlebihankah aku bila aku selalu dipenuhi rasa cemburu setiap kau dekat dengan seseorang? Salahkah aku bila aku memaksakan komunikasi kita yang tiada henti? Kau yang bilang aku mengekang, maaf aku membantah. Mungkin ini hanya takut kehilangan. Kau menyebutku keras. Memang. Karena aku tak pernah bercanda soal hati. Aku berprinsip, kalau kau telah memilihku, kau adalah milikku. Sebaliknya, aku pun milikmu. Setelah itu, baru kita gunakan komitmen. Di antara kenangan-kenangan manis itu ada hal buruk yang i...

Tentang Pagi yang Bertema Kehilangan

Kuawali hari dengan melihat sebentar foto dirimu. Tak terasa peluh basah seketika. Kutatap lekat bola matamu, senyummu, semua mengingatkanku akan masa itu. Hari dimana aku jatuh cinta padamu. Hari sewaktu kita bahagia. Tak jarang ada sedikit perdebatan, itu wajar. Kau marah, atau aku juga. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Kenangan bersamamu entah kapan aku bisa melupakannya. Entah aku bisa beranjak pergi atau hanya berada di satu titik menjemukan seperti sekarang. Aku belum berani melangkah. Aku bertanya pada diriku sendiri, dimana aku yang dulu. Aku yang sebelum kau hadir. Aku yang tak pernah selemah ini. Hariku sekarang begitu kosong. Berangkat kerja, tak ada semangat. Pulang kembali ke kos. Sesekali pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Melihat senja misalnya atau pergi ke toko buku. Sampai di kos, aku terdiam. Waktu paling menakutkan sekarang adalah ketika aku terdiam karena semua memori tentangmu selalu berdatangan. Aku tak memintanya. Mereka datang begitu saja tanpa p...

Sepucuk Surat untuk Hati yang Kelu

Senja hari ini masih tentang hujan. Hujan yang mengingatkanku tentang luka kala itu. Kenapa hujan datang bersamaan? Mungkin karena ia tahu, air tak boleh jatuh sendirian. Ia menjadi teman dari air yang jatuh di sudut mata. Air yang hadir karena... Ah sudahlah. Hujan seolah bicara kepada hati. Ia melihat hati yang sendirian, bermandikan pilu di bawahnya, bercucuran pedih, hancur. Kasihan, pikirnya. Apa yang dapat dilakukan hujan agar hati kembali tersenyum? Tak ada. Hati tak semudah itu tersenyum sekarang. Ia sedang tidak seperti dulu. Ia sedang terluka. Luka yang memaksanya membatu. Entah hati bisa kembali seperti sedia kala atau ia akan buta. Tidak menutup kemungkinan, ia akan menjadi batu selamanya. Tak percaya akan cinta. Trauma yang dialaminya seakan merobek semuanya menjadi kepingan abu. Tak berguna. Kepada sepotong hati yang tersisa, kepadamu aku berkata maaf. Maafkan aku tak mampu merawatmu sebagaimana engkau pernah mencinta mati-matian kepada seseorang. Aku tak bisa membuatmu...

Bunuh Diri Pelan-Pelan

Kembali aku menjalin hubungan denganmu, aku masih hilang arah. Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku tidak menemukan engkau yang kemarin. Kau berbeda. Kucoba menahan diri, tapi aku tak bisa. Benakku selalu terbesit pikiran-pikiran curiga tentangmu. Apa yang kau lakukan, dengan siapa kau berada, dan lebih takut lagi aku hancur untuk kesekian kalinya. Tidak porsiku memang berpikir demikian, mungkin aku yang mencintaimu mati-matian. Atau mungkin ini hanya sisa rasa dari luka yang masih menganga. Ternyata benar, aku bukan tipe orang yang mudah berdamai dengan masa lalu. Aku bukan orang yang mudah memaafkan. Sekali dikecewakan, sulit bagiku menerima semuanya. Bahkan tak jarang ada dendam terpendam. Tentu aku tidak akan balas dendam seperti kebanyakan aksi film. Kau ingin tahu cara balas dendamku? Balas dendam termanis adalah dengan menunjukkan kepadamu bahwa kau telah salah sesalah-salahnya tidak memilihku. Aku yang memendam dendam sendirian, tak pernah bisa mengungkapkan. Amarah yang k...

Dan Aku Kembali

Sekian aku terjatuh ke dalam kamu. Aku jatuh cinta padamu. Aku utuh masuk ke dalam semua darimu. Kau telah menjelma seperti khayalan. Kau impian dalam kenyataan. Kaulah segalanya. Segalanya ada di dirimu, termasuk aku. Aku yang jatuh. Aku yang kacau. Aku yang tak tahu kemana harus melangkah. Sekarang yang aku tahu hanyalah jalan pulang, yaitu kepadamu. Mencintaimu tidaklah mudah. Cinta kita terlalu banyak rintangan. Aku tahu. Bahkan ini terkesan mustahil diabadikan. Tapi ingatlah aku akan menjagamu semampuku, sampai kita menjadi masing-masing. Walaupun jauh dari lubuk hati aku tak ingin bermaksud demikian, aku ingin menjadikanmu selamanya. Aku ingin kau menjadi yang terakhir dalam pencarianku. Pun sebaliknya, meski aku bukan pertama yang singgah di sana, aku ingin menjadi yang terakhir untukmu. Tanpa pilihan dan tanpa siapa-siapa. Aku mempertahankanmu, memperjuangkanmu sejauh ini semata karena aku telah buta. Kau telah membutakanku. Aku menikmati kebutaan itu. Aku menikmati ja...