Kuawali hari dengan melihat sebentar foto dirimu. Tak terasa peluh basah seketika. Kutatap lekat bola matamu, senyummu, semua mengingatkanku akan masa itu. Hari dimana aku jatuh cinta padamu. Hari sewaktu kita bahagia. Tak jarang ada sedikit perdebatan, itu wajar. Kau marah, atau aku juga. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Kenangan bersamamu entah kapan aku bisa melupakannya. Entah aku bisa beranjak pergi atau hanya berada di satu titik menjemukan seperti sekarang. Aku belum berani melangkah. Aku bertanya pada diriku sendiri, dimana aku yang dulu. Aku yang sebelum kau hadir. Aku yang tak pernah selemah ini.
Hariku sekarang begitu kosong. Berangkat kerja, tak ada semangat. Pulang kembali ke kos. Sesekali pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Melihat senja misalnya atau pergi ke toko buku. Sampai di kos, aku terdiam. Waktu paling menakutkan sekarang adalah ketika aku terdiam karena semua memori tentangmu selalu berdatangan. Aku tak memintanya. Mereka datang begitu saja tanpa permisi. Saat itu aku harus berperang melawan segalanya. Tetap saja aku kalah. Aku lemah. Kau, apa yang kau tanam sampai aku bungkam?
Kau bilang melupakan pelan-pelan. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku melakukannya sementara kau terus muncul, dalam bentuk apapun. Kau masih melekat kuat disini. Kau masih menjadi isi yang pas melengkapi hati. Kau masih menjadi laut untuk kutujukan rindu. Dari sinilah rasa itu bermuara. Dan muara itu tak pernah kering. Ia alirkan candumu ke berbagai sudut tubuhku. Apakah aku semenderita ini? Apakah jatuh cinta harus sesakit ini?
Ini bukan tentang patah hati atau jatuh cinta. Ini hanya celoteh seorang anak yang dilanda badai gelisah. Ia tak tahu kemana harus melangkah. Mimpi-mimpi yang ia bangun kini antah berantah. Bukan ia kehilangan seseorang, ia hanya kehilangan dirinya sendiri. Senyumnya memudar. Tatap matanya hampa. Langkahnya goyah. Ia begitu lemah. Rapuh.
Comments
Post a Comment