Menjelang senja kali ini aku ditemani hujan. Kenapa hujan
turun di saat seperti ini? Kenapa hujan turun bersamaan dengan air mata?
Mungkin ini salah satu cara agar kau tak tahu aku sedang menangis. Biarlah aku
berjalan di bawah hujan. Di antara sela butir hujan yang jatuh membasahi peluh.
Di antara bulir air mata yang ikut hanyut terbawanya. Tak usah kau tahu aku
sedang menangis. Biar aku dan hujan yang tahu betapa pedih luka yang kau
goreskan.
Baru kali ini aku takut akan hujan. Dentum rinainya yang jatuh
seakan memukuliku. Mengingatkan aku akan pukulan telak yang kau layangkan
padaku beberapa hari lalu. Aku telah kalah. Aku tak bisa bangkit sekarang.
Bagai hujan, kau menenggelamkanku. Bagai gemericik suara hujan, perbincangan
kita malam itu sungguh menggetarkan hati. Sesak. Tidakkah kau merasa sesakit
ini? Atau aku yang berlebihan? Entah.
Kau merindukanku? Aku pun iya. Tapi aku tak tahu apa yang
harus aku lakukan. Aku ingin melepasmu tapi aku belum bisa. Apa aku harus
memilikimu lagi? Sementara aku takut pada pilihan itu. Ada semacam trauma di
sini. Ketika kau bertanya apa aku sayang padamu. Ingatkah kala itu aku jawab,
“Kalau aku tidak sayang, aku tak mungkin sejatuh ini.” Kau ingat? Aku sedang
tidak membuat lelucon. Aku tak pernah bercanda soal kamu. Aku mencintaimu tulus
dari hati dan logika. Tidakkah seluruh pikiran dan perasaan akan indah bila
lebur dalam cinta? Seperti itulah aku kepadamu.
Seringkali kau tanyakan ketulusan-ketulusanku. Aku tak bisa
menjawab. Aku tak bisa menjawabnya. Aku tak tahu apa arti ketulusan.
Apakah ketulusan berarti mencintai
dengan mengiyakan semua perkataanmu? Atau tulus adalah ketika misal kau berbuat
salah dan aku memaafkan? Atau mungkin tulus adalah ketika aku merelakan engkau
pergi dan bersama orang lain? Aku memang bodoh. Tulus pun tak tahu. Yang aku
tahu, mencintaimu adalah kebenaran. Mencintaimu adalah ketika ketidaksempurnaan
kita lebur menjadi rindu. Mencintaimu adalah perjuangan untuk memantaskan,
untuk selalu ada, dan untuk menjanjikan. Ingat, aku mencintaimu dengan rasa dan
logika. Atau dengan segalanya.
Kau, sudah tahu kau bagaimana aku mencintaimu? Bagaimana aku
mempercayakan diriku padamu? Sudah tahukah engkau betapa aku ada padamu? Masih
ingatkah engkau tentang malam-malam kita yang begitu mengesankan? Tentang senja
kita yang sering dihabiskan berdua sambil bercengkerama dan tertawa bersama?
Tentang hari-hari kita yang tak pernah sepi akan gurauan. Walaupun sedikit
banyak ada pertikaian, itulah bumbu suatu hubungan. Itu wajar. Andai di
sampingku sekarang ini ada malaikat, akan kuceritakan padanya betapa bahagia
aku saat itu. Betapa sempurna aku denganmu. Agar ia sampaikan kepada semua
manusia bahwa aku pernah jatuh cinta pada seseorang dengan sangat. Bahwa jatuh
cinta sangatlah indah. Tawa, tangis, bersama menyatu dalam detak jantung yang
sama.
Ah sudahlah, hujan kali ini terlalu menenggelamkanku pada
cerita lalu. Mungkin dengan hujan sore ini aku akan membuka lembaran baru yang
masih aku tak tahu akan kutulisi apa. Aku belum tahu kemana aku akan melangkah.
Aku belum tahu apa yang akan kulakukan dengan lembaran-lembaran kemudian. Aku
belum bisa berpikir jernih. Aku kacau.
Biarlah aku begini. Aku sedang ingin sendirian. Walaupun seringnya
bayangmu melintas. Sakit sekali. Tapi biarlah, anggap saja ini pembelajaran bahwa
menjaga dan melupakan sangatlah susah.
Comments
Post a Comment