Aku terbangun. Terjaga di kala seperti ini memang tidak mengenakkan. Di sisi lain aku memang butuh tidur untuk esok. Bukan hanya butuh tidur, aku hanya tak mau sekelebatan kenangan tentangmu muncul. Bahkan tahukah kau, jauh sebelum aku menulis ini, bayangmu telah muncul begitu saja. Manis. Tapi juga sesak.
Aku mengenangmu. Aku ingat beberapa hari lalu aku jatuh cinta kepadamu. Kau tahu, aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Egokah aku bila aku menginginkan dirimu menjadi milikku seorang? Berlebihankah aku bila aku selalu dipenuhi rasa cemburu setiap kau dekat dengan seseorang? Salahkah aku bila aku memaksakan komunikasi kita yang tiada henti? Kau yang bilang aku mengekang, maaf aku membantah. Mungkin ini hanya takut kehilangan. Kau menyebutku keras. Memang. Karena aku tak pernah bercanda soal hati. Aku berprinsip, kalau kau telah memilihku, kau adalah milikku. Sebaliknya, aku pun milikmu. Setelah itu, baru kita gunakan komitmen.
Di antara kenangan-kenangan manis itu ada hal buruk yang ingin aku lupakan benar. Tapi sulit sekali menguburnya. Setiap aku sendirian, semua itu hadir tiba-tiba. Ingat aku saat memilih kembali padamu. Kulabuhkan hatiku di dermaga milikmu lagi. Kujatuhkan kembali hati yang sempat ingin terbang meninggalkanmu. Aku kembali.
Kau ingat saat aku berkata bahwa kau bukan lagi kau yang aku kenal kemarin? Kau berubah. Dari kau yang selalu berkabar. Sedetik aku tak membalas chatmu, tiba-tiba ada panggilan tak terjawab di ponsel. Itu sudah tak ada lagi. Terakhir, aku telpon kau berkali-kali. Dengan naif kau chat, "Ada apa?". Tidak biasa kau begitu. Malamnya kau katakan baru pulang sehabis jalan dan makan dengan seseorang. Hei, naif sekali kau sayang. Tidak tahukah kau betapa sakit aku saat itu? Di saat aku menunggu kabarmu, khawatir tentang keberadaanmu, begitu lihai kau lakukan itu. Mana janjimu yang kau bilang tidak akan berhubungan lagi dengan orang itu? Kau tahu, murka seseorang yang janjinya diingkari begitu saja? Tidakkah haram kata sayang keluar dari mulutmu saat kembali memanggilku?
Ada yang dalam diam menyimpan luka begitu dalam. Karena terlalu dalamnya, ia tak tahu bagaimana cara kembali mengenal cinta. Orang yang terluka itu sedang jatuh, sejatuh-jatuhnya. Ia tak lagi mengenal cinta. Dunianya gelap seketika. Hatinya hancur. Hebatnya, hatinya dihancurkan oleh orang yang dicintanya. Ternyata, cinta bisa menjadi mata pedang untuk penikmatnya. Semakin tajam pedang, semakin dalam lukanya. Semakin kuat cinta, jika terluka, kuat pula goresnya.
Aku ingin sembuh. Bisakah aku amnesia saja? Sesak sekali rasanya mengingat semua itu. Kenapa kau tanam rasa ini begitu dalam? Apakah aku tidak bisa melepasmu? Tolong, jika kau tak mampu menyembuhkan, jangan kembali dengan menorehkan luka lama. Jika kau ingin membunuhku pelan, kusarankan bukan begini caranya. Bunuhlah aku dengan cara ksatria. Bukan bersenjatakan cinta.
Comments
Post a Comment