Skip to main content

Posts

Sepotong Kue Manis di Akhir Cerita

Bahagia katanya sederhana. Sesederhana senyuman manja seorang yang dicinta. Layaknya kepompong, mungkin kita sama. Sedang dalam masa metamorfosis. Lalu, di bagian mana kita dipandang lebih baik? Kau sempat ada di hidupku. Kau sempat menjadi jalan untukku pulang. Kau pernah pula menjadi alasan betapa aku ingin terjaga setiap malam. Kau, alasanku untuk hidup. Aku. Kau bilang aku adalah segalanya. Aku yang utama katamu. Bahagiamu sekarang tak pernah sebahagia kala bersamaku. Palsu? Sejauh langkah kakiku terrajut, kau memang yang terindah. Sungguh kau telah merubahku menjadi manusia yang melek tentang dunia. Kepada hati, aku tak pernah bercanda. Sajak tentangmu mengalir setiap malam. Perihal bahagia. Perihal nestapa. Sedikit cerita sederhana seseorang pemuja cinta. Cinta yang baginya adalah segalanya kini harus musnah berlumur noda. Masihkah engkau pantas berucap kata maha agung itu, wahai yang pernah aku cinta. Bertanyalah pada kaca, sampai mana kau layak untuk dicinta.

Sepercik Imaji Masa

Tak bosan aku berkata bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan amat sangat. Setiap hari aku jatuh cinta padanya. Matanya, senyumnya, tingkah lakunya, segala di dirinya aku cinta. Ia telah menjadi candu, saat itu. Saat aku sedang terbang di ketinggian tanpa batas. Aku berselancar berirama imaji hidupku dengannya. Yang pada nyatanya, kami memang dimabuk asmara. Aku pernah mencintai seseorang hingga rasa itu berubah jadi benci. Benci yang entah kenapa tak bisa hilang begitu saja. Ia yang dulu aku harap tak akan terganti, kini harus aku hapus. Lantas bagaimana aku mampu melumpuhkan ingatan tentang seseorang yang pernah aku harap tidak akan pergi dari hidupku? Bukankah sama halnya dengan menyakiti diri sendiri? "Selamat pagi..." "Jangan lupa makan ya." "Nanti ketemu yuk." Beberapa ucapan sederhana dengan kesan luar biasa. Pesan singkat yang notifikasinya paling aku harap segera muncul di layar ponsel. Bahkan, menunggunya menjadi alasan aku tetap berdiri...

Pernah Memiliki

Bermalam-malam aku menikmati bintang. Mereka beriak bergemuruh. Mereka tertawa tak peduli luka yang kuderita. Ada yang bahagia melihat gemerlapnya. Sedang aku hanya menganga menghabiskan nestapa. Mencoba melupa tapi tak bisa. Berusaha berlari namun kaki merintih tersiksa. Aku hanya berdiri disini tanpa apa-apa. Sepanjang jalan aku merindu bulan. Aku menemukannya anggun di singgasananya. Bundar dengan sinar keemasan. Ia seperti apa yang pernah kumiliki. Aku pernah memiliki sesuatu yang selalu aku cari. Aku pernah memiliki hal yang pasti aku cari. Aku pernah memiliki segala sesuatu dalam diri seseorang. Aku pernah memilikinya. Semua hulu dari hilir rasa. Waktu terus tumbuh. Aku menyadari sesuatu. Ternyata aku masih disini. Aku tidak kemana-mana. Aku masih setia menunggu. Entah apa. Lantas bagaimana?

Sepatah Kata di Awal Juni

Satu bulan tanpa mengunjungi rumah ini. Terlalu sibuk dengan urusan dunia nyata. Setelah selama itu tanpa tulisan apa-apa, keinginan menulis muncul kembali. Mungkin tema masih sama, tentang cerita yang bisa dinikmati segala kalangan dan usia. Cinta. Cinta, satu kata agung penuh makna. Sayang, benci, rindu, semuanya. Muara segala rasa. Bahkan tak jarang ketika mencintai seseorang, benci akan mengikuti. Begitulah manusia. Bicara soal cinta, kapankah seseorang dinilai sebagai pecinta sejati? Seperti apa tolok ukurnya? Indikatornya bagaimana? Bisakah? Atau mungkin pertanyaan tepatnya adalah adakah? Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi topik pada tulisan saya selanjutnya. Berlatar dari berbagai sudut pandang, semoga cinta bukan hanya kata manis dari bibir pendusta. Lantas, adakah seseorang yang pantas mengatakan cinta? Kita lihat saja. Saya beberapa tahun lalu di sela-sela mengajar.

Air Mata di Malam yang Sama

Ah selamat pagi buta semesta! Seperti biasa, tidurku selalu terbangun tak menentu. Khusus hari ini mungkin efek kemarin, trip seharian melepas penat agar terlihat baik-baik saja. Sebelumnya bertemu kawan lama sampai tengah malam, tidur, bangun di angka 3, mandi, berangkat. Maksud hati ingin membayar hutang tidur, kok masih saja terbangun di tengah malam begini. Lalu, hal yang paling membuat kesal muncul. Sama dengan malam-malam sebelumnya. Dia. Ini yang aku benci dari terjaganya aku di malam gelap. Bayangan-bayangan itu selalu muncul. Aku ingin mengalihkan. Membuka laptop, bermain game, atau sekadar cuci muka. Tapi bayangan tetaplah bayangan. Aku tak bisa mengusirnya begitu saja. Ia akan tetap ada walaupun kadang tidak tampak. Bagaimana sekarang? Apakah bayangan itu bisa hilang? Tentu tak sesederhana itu. Ya, begitu rumit kurasa. Entahlah. Mau dijalani tapi... Cinta. Apa itu cinta? Banyak orang bilang cinta tapi mereka tak tahu artinya. Banyak orang berkata cinta tapi perilakunya berk...

Akulah Orang yang Terluka Sementara Engkau Baik-Baik Saja

Mengenalmu adalah hal baru bagiku. Tiada tahu kehadiranmu dalam hidupku. Aku yang kering, kau basuh dengan senyummu. Aku yang tandus, kau hujani dengan tawamu. Bagai malam tak berbintang, kau tetap ada dalam awan. Serta angin pelan yang membelaiku telah kau rasuki. Sementara aku masih terbujur kaku menikmati dirimu. Aku ingat beberapa hari lalu kita sering bercakap. Tentang aku, engkau, hari-hari kita, mimpi, masa depan, segalanya. Pandai aku membenih harapan padamu. Harapan yang setiap hari aku aminkan. Sebuah cita yang ingin aku gapai bersamamu. Kudedikasikan arah agat bisa menjagamu. Memperjuangkan apa yang ingin kumiliki darimu. Pun engkau, mengaku akan melakukan hal sama. Bukankah terlalu indah cinta kita? Kita yang berjuang. Kita yang bertahan. Sesalu aku bertanya apakah aku sendirian. Dan kau runtuhkan segala sepiku. Tentang kita yang begitu keras menggema di angkasa. Hari-hari denganmu kulalui begitu indah. Indah tak kan terasa indah jika tidak ada lawan. Kadang bebera...

Kisah di antara Malam, Masih Sama, Tentang Kita

Seperti biasa aku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kebiasaan yang muncul setelah beberapa perselisihan denganmu. Aku lelah seperti ini. Aku lelah bila setiap malam harus terjaga dan terbayang namamu. Semua kenanganmu ikut bermunculan. Satu persatu menggerogoti sisa malamku. Setiap hari. Tidakkah naif bila aku berkata membencimu? Pelipur duka alih-alih ingin lupa akan luka yang bersemayam. Sebaliknya, semakin ingin aku melupakanmu semakin aku tak bisa menghapusmu. Kau telah menjalar. Kau ambil jantungku dan kau ganti fungsinya. Kau edarkan rindu di setiap pembuluh darahku. Kau bagai udara. Tak terlihat namun begitu terasa bagi tubuh rapuh ini. Oh sembuhlah cinta. Pada malam dingin ini aku bercerita kepada angin. Kupandang lekat hitam langit. Tak begitu banyak bintang terlihat. Beberapa ada malu-malu bertahta. Kupejamkan mata sejenak menengadahkan segala doa. Berharap lupa dan berserah pada semesta. Ada kehangatan kuperoleh. Hangatnya aku kenal. Perlahan memanas. Seuntai mendun...