Putih abu-abu, banyak sekali hal
yang dibuat tentang itu. Mulai dari lagu, cerpen, novel, sampai konsep
pernikahan pun ada. Semua bermula dari kenangan para penikmatnya. Banyak yang
beranggapan bahwa masa putih abu-abu adalah masa yang paling menyenangkan. Masa
dimana seorang anak sedang beranjak dewasa, mencoba mencari jati diri.
Sama halnya denganku, aku
menganggap masa-masa itu adalah masa yang paling menyenangkan. Terlalu
menyenangkannya, hingga saat menulis ini aku jadi senyum-senyum sendiri. Tak
ada yang bisa menungkapkan betapa menyenangkannya ketika itu. Bahkan angkasa
juga tak sanggup menahan gaungnya.
SMA, Sekolah Menengah Atas, tiga
tahun lamanya kita melalui itu (kecuali akselerasi). Tiga tahun lamanya kita
mengenal teman-teman yang akan mengubah gaya hidup kita. Teman-teman yang akan
mempengaruhi bagaimana karakter kita.
Tidak hanya teman, SMA sering
dikaitkan dengan hal-hal romantis. Apa lagi kalau bukan cinta? Di SMA tidak
sedikit yang terkena wabah cinta pertama. Kebanyakan memang seperti itu. Paling
tidak itu ketika zaman saya masih mengenakan seragam SMA. Sepertinya sekarang
sudah berbeda. Anak SD saja banyak yang pacaran. Dulu mah, beraninya Cuma cinta
monyet.
Saya tidak akan menulis cinta
pertama saya kala itu. Biarkan saya cukup mengenangnya saja. Kupikir itu adalah
rahasia pribadi, bukan konsumsi publik.
Ketika SMA, saya masuk pada tahun
2007 dan lulus tahun 2010. Saya punya teman-teman yang berbeda dari yang lain.
Kelas X, saya masuk kelas intensif. Kelas intensif adalah kelas unggulan di SMA
saya. Kami banyak belajar bahasa Inggris. Tiada hari tanpa penggunaan bahasa
Inggris. Kelas XI, waktunya penjurusan. Saya memilih kelas Bahasa sebagai
pilihan pertama dan IPA sebagai pilihan kedua.
Awalnya banyak yang tidak
memperbolehkan saya masuk kelas Bahasa. Kelas Bahasa adalah kelas “kutukan”,
katanya. Kelas buangan, kelas anak-anak nakal, kelas paling bandel, kelas
terburuk lah. Entah ada berapa ribu orang yang beranggapan miring
kekanak-kanakan seperti itu.
Saya ingin menjadi orang yang
berbeda. Penjurusan adalah saat kita memilih jurusan berdasarkan minat kita,
bukan gengsi yang sudah menjadi mindset
kebanyakan orang. Saya percaya dengan pilihan saya. Saya tidak akan menyesal.
Waktu itu teman sekelas saya yang
memilih kelas bahasa hanya 4 anak. Kelas X2 tidak ada sama sekali. Karena kelas
intensif ada 2, X1 dan X2, saya hanya punya teman dari kelas itu saja. Mungkin
karena letak kelas kami yang berpisah dengan kelas X yang lain, jadi saya tidak
punya teman akrab selain dari kelas yang sejenis.
Semua terasa baru. Ada beberapa
teman SMP saya yang masuk kelas Bahasa, tapi kami belum akrab dari dulu.
Beruntung, kami punya kesadaran yang sama. Tanpa kami sadari kami sudah masuk
ke dalam sebuah rumah yang berantakan, sangat berantakan. Kami harus tinggal di
dalam rumah itu dan memperbaikinya. Kami juga harus mendekorasi semua sudut
rumah itu. Kami ingin rumah bagus untuk ditinggali. Dan mungkin rumah ini juga
bisa kami turunkan untuk adik-adik Bahasa setelah kami.
Seperti biasa, untuk mengakrabkan
penghuni kelas baru, sekolah kami mengadakan lomba kebersihan kelas tiap awal
tahun pelajaran baru. Sudah saya bilang, rumah yang saya tinggali dengan
teman-teman saya ini sangatlah berantakan. Bukan hanya rumah dalam arti
denotasi, tapi juga konotasi. Denotasi untuk rumah yang sebenarnya, konotasi
untuk pandangan orang luar terhadap kami.
Bermula dari kegiatan kebersihan
kelas, kami mulai akrab satu sama lain. Setiap sore, sepulang sekolah, kami
selalu menyempatkan diri untuk membersihkan kelas dan menata taman. Kami juga
sempat mengambil beberapa karung pasir laut untuk dijadikan dekorasi taman
kelas.
Tidak hanya saat pulang sekolah,
hari libur dan jam kosong menjadi pilihan kami untuk menata kelas kami. Pernah
suatu kali saat jam pelajaran bahasa Perancis, entah karena apa tiba-tiba taman
terlihat berantakan. Aku dan teman-teman segera membersihkannya. Tidak lupa
kami juga memotong rumput atau dedaunan yang terlihat mulai tumbuh berantakan.
Tanpa kami sadari guru bahasa
Perancis kami, melihat kami membersihkan taman. Lalu beliau memanggil salah
satu dari kami ke ruang guru.
“Woi, bahasa Perancis kosong!”
Betapa menyenangkannya sebagai
seorang pelajar yang mendengar berita jam kosong. Seolah-olah itu menjadi surga
bagi kami. Yang mau ngantin yan ngantin, bagi anak-anak rajin mungkin perpus
akan menjadi destinasi utama, ada juga yang ngegosip di dalam kelas, dan banyak
lagi. Hari ini kami melakukan sesuatu yang berbeda. Ya, kami menata taman dan
kelas yang selanjutnya akan kami tinggali.
Lama sudah kami menunggu,
akhirnya saat pengumuman tiba. Pengumuman pemenang disampaikan saat upacara
bendera di hari Senin. Sebenarnya saya agak meragukan untuk menjadi pemenang.
Dari tahun ke tahun, kelas Bahasa tidak pernah menang dalam lomba kebersihan
kelas. Jangan ditanya kenapa, karena saya juga tidak tahu alasannya. Yang saya
tahu, saya dan teman-teman saya ingin menghapus konsumsi publik semacam itu.
Siapa sangka matahari seterang
ini berpihak pada kami? Kelas XI Bahasa mendapat juara 2 lomba kebersihan kelas
tahun ini! Seketika itu juga, kami bersorak gembira. Kalian lihat, ini adalah
langkah awal kami dalam memperbaiki rumah kami. Tunggu sampai kalian tidak
sanggup berkata-kata ketika melihat betapa bagusnya rumah yang kami punya ini.
Bangga juga, kerja keras kami
selama ini tidak sia-sia. Sebagai hadiah, kami menerima sebuah cermin besar
yang kami pasang di kelas. Saya lupa hadiah utamanya apa, yang saya ingat
hanyalah cermin itu. Cermin dengan figura berwarna emas, menempel tepat setelah
pintu masuk. Itu mencerminkan bahwa siapapun yang masuk ke kelas kami, mereka
harus bercermin dulu sebelum membuat asumsi miring terhadap kami. Tidakkah kau
lihat, kali ini kami telah berhasil membangun fondasi untuk perbaikan rumah
kami?
Tidak hanya ajang kebersihan
kelas, kami juga menorehkan prestasi di bidang lain. Memang, ini tidak diakui
sebagai prestasi di ajang bergengsi tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi atau
nasional, tapi ini adalah salah satu kekayaan yang kami miliki, teater.
Teater seolah menjadi milik kelas
Bahasa. Semua anak Bahasa wajib mengikuti ekskul teater. Jujur, ini manjadi
debut pertamaku di dunia akting. Yah, walaupun aku tidak pernah terpilih
menjadi pemeran di pentas, setidaknya akulah yang mengurus administrasinya.
Kapan hari pentas, gedung pentas, lighting sampai pengajuan permohonan dana ke
sekolah aku turut serta.
Setiap Diesnatalis kami
menampilkan satu karya teater. Untuk memeriahkan ulang tahun sekolah itu, kami
mempersembahkan penampilan akbar berupa drama. Kami memberlakukan sistem ticketing di setiap agendanya. Tak tahu
sekarang apakah gratis atau masih bayar. Seingat saya, harga tiket saat itu
adalah Rp 3.000,00. Murah bukan? Itu cukup untuk kantong anak SMA.
Entah Diesnatalis keberapa, kalau
tidak salah ke-26, kami mengambil balada untuk pentas kali ini. Tidak
terbayangkan, ternyata penonton saat itu sangatlah banyak. Gedung PGRI yang
menjadi tempat pentas seakan tak mampu menampung penonton yang berdatangan.
Bayaran terbaik setelah lelah menyiapkan acara adalah tepuk tangan penonton dan
sorak sorai mereka yang meriah.
Singkat cerita, tak terasa kami
sudah kelas XII. Sebentar lagi kami akan menghadapi UN. 3 hari bersejarah yang
akan menentukan kelulusan.
Saat itu rasa kekeluargaan kami
bertambah besar. Seiring dengan waktu kebersamaan kami selama ini, rasa
memiliki di antara kami juga semakin bertumbuh. Kami tumbuh bersama. Kami
tumbuh di dalam rumah terbaik yang pernah kami diami. Meskipun masih ada orang
yang melihat keretakan rumah kami, bagi kami, ini adalah rumah terbaik selama
kami mengenakan seragam putih abu-abu.
Kami mulai berfikir tentang masa
depan pendidikan kami. Kami mulai sibuk dengan pendaftaran kuliah. Ada banyak
cerita yang kami sampaikan satu dengan yang lain. Bingung memilih jurusan, mau
kuliah dimana, setelah lulus SMA akan melakukan apa, semua itu menjadi topik
kami sehari-hari.
Tak terasa, sebentar lagi kami
akan bertemu dengan perpisahan. Kami akan hidup dengan jalan masing-masing.
Kami tidak akan bertemu lagi seperti ini. Kami tidak bisa lagi melakukan hal
yang sama dengan hari ini. Kami tidak bisa lagi mengenakan seragam ini. Kami
sudah tumbuh bersama. Bersama pula kami menjadi orang yang beranjak dewasa.
Kami akan tumbuh lagi, menjadi orang yang lebih baik.
Berbagai trik untuk mengejar
sukses di UN kami lakukan. Mulai dari mengikuti les yang diwajibkan sekolah, try out, pemindahan tempat duduk di
kelas oleh wali kelas kami, sampai belajar kelompok pun kami lakukan. Semua itu
untuk menujukkan bahwa kami bisa jadi yang terbaik, terutama di ajang bergengsi
yang terakhir ini, UN.
Hal-hal menakutkan kembali
muncul. Anak-anak bernomor genap terkenal pintar dan rajin. Sebaliknya, yang
ganjil dianggap di bawah. Kelas benar-benar gempar dengan asumsi itu. Saya
pikir, itu hal biasa yang akan dialami para siswa kelas XII.
UN tiba. Seperti biasa, ada
bocoran jawaban menyebar via SMS. Saya, yang dikenal pendiam dan taat aturan,
saat ini saya mencoba melanggar aturan yang tidak memperbolehkan membawa HP
saat ujian. Saya melanggarnya.
Ada salah satu teman saya yang
terkenal rajin, pintar dan pendiam, kurang lebih seperti saya, yang juga
membawa HP ke dalam ruang ujian. Dia membuka HP!
“Kok dia berani ya?” pikirku.
Aku tidak berani membuka HP. Tapi
kurasa teman-temanku banyak yang melanggarnya. Baiklah, aku akan mencobanya.
Gila! Hal pertama yang aku
rasakan ketika menarik HP keluar dari kantong adalah takut. takut setengah mati
sampai tanganku bergetar karenanya. Aku tidak menyangka, ternyata akan seburuk
ini. Biasa sih, aku kan tidak terbiasa membuka HP saat ujian, hahaha...
(Benerin poni)
Lebih gila lagi adalah ketika UN,
salah satu teman sekelasku ada yang sakit. Parah nih, kok bisa ya itu sakit
tidak tahu diri sekali, datang di waktu yang tidak tepat. Ketika mengerjakan
soal, dia tidak bisa melingkari lembar jawab. Jam hampir selesai, aku dan
teman-temanku membantunya melingkari jawaban. Awalnya para pengawas melihat
tingkah kami dengan agak waswas, tapi mau bagaimana lagi? Kami tidak mau ada
yang tidak lulus. Kami mau lulus 100%!
Keesokan harinya ia tidak bisa
mengikuti UN. Ia harus dirawat di puskesmas. Ia masih bisa mengerjakan UN di
sana dengan diawasi salah satu guru kami. Saat itu kami hanya bisa berharap
agar semuanya baik-baik saja.
Momen UN yang paling aku ingat
adalah ketika ujian Sastra Indonesia. Hal yang selalu terjadi di kelas adalah
jawaban kami tidak pernah sependapat. Dari kepala satu dan kepala lain selalu
saja berbeda. Bahkan antara aku, teman-temanku dan guru sastra pun berbeda. Itu
merupakah hal wajar di pelajaran yang satu itu.
Bayangkan saja, dari 40 soal,
jawabanku dan Daus, salah satu teman sekelasku, berbeda 20 soal! Tentu saja
kami yakin dengan jawaban kami sendiri. Seolah jawaban di sini tidak ada yang
benar dan tidak ada yang salah, kami tidak mengganti sedikitpun jawaban kami
yang berbeda.
Setelah itu kami dilanda rasa
takut dan heran. Kami mencoba mencocokkan jawaban kami masing-masing. Ada yang
menjawab a, b, c, d dan e. Semuanya ada. Kami tidak tahu mana benar dan mana
salah. Jalan terakhir yang bisa kami tempuh hanya berdoa.
Apa lagi yang terjadi setelah UN?
Ingatan itu hampir saja hilang. Aku tidak ingat apa saja yang kami alami lagi.
Pastinya ada ujian sekolah, ujian praktik dan... perpisahan.
Singkat cerita lagi, hari
pengumuman tiba. Kami berkumpul di kos salah satu teman kami, Nuna. Sejak awal
kami memang janjian untuk berkumpul dan merayakan kelulusan di sini. Pagi hari
kami sudah bersiap dengan pilok, spidol dan seragam kebanggaan putih abu-abu
yang akan menjadi saksi persahabatan kami.
Hampir tengah hari, tapi kami
belum mendengar berita kelulusan. Kami masih menunggu dengan menyemir rambut.
Siap-siap konvoi coy!
Tiba-tiba ada seorang teman kami
dari kelas lain lewat dan menghampiri kami.
“Hei sekolah kita ada yang tidak
lulus 1 anak! Tapi kelas bahasa lulus semua kok. Selamat ya, kalian dapat
peringkat 1 se-Jawa Tengah.”
Aku lupa siapa yang memberitahu
kami hal itu. Hanya mendengar bahwa kelas kami lulus semua saja sudah senang,
apalagi tahu bahwa kami ada di peringkat tertinggi seprovinsi, rasanya
benar-benar istimewa. Seolah hari itu adalah hari kemerdekaan bagi kami.
Antara bahagia dan tidak, di satu
sisi kami bahagia karena kami lulus semua dan kami juga mendapat nilai
tertinggi di Jawa Tengah, tapi di sisi lain kami sedih karena ada teman kami
yang tidak bisa lulus. Untungnya ada ujian susulan, jadi dia tidak mengulang
paket C.
Mulailah pesta dimulai. Pilok dan
spidol siap di tangan. Kami mencoret-coret seragam dengan warna-warni pilok
yang kami siapkan. Tak lupa kami saling menandatangani seragam milik kami.
Ternyata keseruan seperti ini tidak seperti yang diberitakan di televisi. Ini
lebih menyenangkan!
Kami terlalu bahagia. Kami juga
mengabadikan setiap momen corat-coret itu di kamera yang aku bawa. Perlu kalian
tahu, seragam hasil corat-coret itu masih tersimpan rapi di lemari pakaianku.
Setiap kenangan ada di seragam itu. Sampai akhir nanti, kenangan itu akan tetap
abadi sampai anak cucu kami yang akan meceritakannya.
Hari kelulusan akan selalu aku
ingat. Setelah coret-coret seragam, kami konvoi ke pantai dan makan-makan di
sana. Konvoi kali ini hanya beranggotakan anak kelas Bahasa saja. Aku tak tahu
kenapa kami tidak ikut rombongan yang lain. Secara tiba-tiba saja kami bergerak
sendiri, tanpa dikomando. Kompak bukan?
Di jalan kami bertemu dengan SMA
lain. Aku tahu mereka juga merayakan kelulusannya, terlihat dari seragam mereka
yang juga hasil kreasi tanda tangan teman-temannya. Tidak peduli dari SMA mana
mereka, kami menyapa mereka dengan membunyikan klakson. Mereka membalas kami
dengan balik membunyikan klakson. Dalam hati aku berkata, “Selamat atas
kelulusan kita kawan!”
Kelulusan adalah saat yang tak
akan pernah kulupakan. Selanjutnya adalah perpisahan.
Atasan putih, bawahan hitam, dasi
dan sepatu hitam menjadi kostum wajib saat perpisahan. Kalau boleh bilang, aku
belum siap untuk berpisah dengan mereka, keluarga baruku di kelas Bahasa.
Orang-orang yang mampu membuat kelas Bahasa berada di atas awan. Dengan mereka,
rumah yang dulunya kotor sekarang bersih, bagus dan nyaman ditinggali. Kerja
keras kami terbayar tak sia-sia. Akhirnya kami punya warisan baik untuk
adik-adik kami selanjutnya.
Lagu yang paling aku ingat adalah
Kita Selamanya dari Bondan Prakoso. Rasanya ingin menangis sekaligus
senyum-senyum sendiri ketika menyanyikan lagu itu. Tidak ada yang bisa
kukatakan lagi, aku akan merindukan saat-saat seperti ini. Ya, kami akan saling
merindukan.
Tiba saatnya bersalaman dengan
guru-guru. Tangis haru menyelimuti momen ini.
“Saya bangga dengan kelas Bahasa.
Awalnya kalian diremehkan, tapi kalian berhasil menunjukkan kemampuan kalian
dengan mendapat peringkat satu se-Jawa Tengah.”
Kalimat yang tidak akan pernah
aku lupakan. Ya, kami selalu diremehkan. Tapi kalian sudah lihat kan kehebatan
kami. Bukan sombong, kami hanya bangga. Suatu saat nanti aku akan menceritakan
cerita itu pada adik-adikku di kelas Bahasa yang selanjutnya. Aku yakin,
kalimat itu bisa menjadi mantra untuk memotivasi generasi kelas Bahasa ke
depannya.
Selesai upacara pelepasan, kami
memanggil wali kelas kami yang paling berjasa selama kami kelas XII, Bu Elly,
untuk foto bareng. Bu Elly terkenal sebagai guru tergalak dan terdisiplin di
sekolah. Beruntung kami punya wali kelas beliau. Banyak kenangan bersama beliau
yang tidak bisa ditulis di sini. Lain kali aku akan menulisnya di judul yang
berbeda. Tunggu ya.
Setelah itu kami pergi ke pantai.
Sebagai orang Jepara, kami selalu merayakan sesuatu di pantai. Berhubung tempat
tinggal kami juga dekat pantai.
Kami menuju pantai Bondo, salah
satu pantai yang menjadi saksi bisu keberadaan kami. Berapa kali kami
menghabiskan hari di pantai ini? Hanya pasir pantai putih itu yang tahu. Di
setiap butir pasirnya tersimpan berjuta kenangan kami yang ikut larut terbawa
ombak lautan. Hingga dunia akan tahu betapa berartinya orang-orang yang ada di
sekelilingku saat ini.
Masih aku ingat, kami saling
mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan. Mata tak mampu berbohong.
Menangis menjadi pilihan yang tepat. Ketika mulut tak sanggup mengucapkan salam
perpisahan, mata akan mengucapkannya dengan air mata.
Sudah selesai. Kebersamaan kami
secara fisik memang berakhir pada hari itu. Tapi ikatan yang telah kami jalin
tidak akan berakhir begitu saja. Ada banyak hal yang akan mengumpulkan kami
lagi. Suatu saat nanti, ketika kita bertemu lagi, tentu akan ada banyak cerita
baru. Masing-masing dari kami akan menjadi orang baru dengan cerita baru pula.
Tapi sifat yang telah kami bawa yang menjadi karakter kelas Bahasa tidak akan
pernah berubah, enjoyable.
Tulisan ini saya persembahkan
untuk:
·
Teman-teman saya yang menamakan diri sebagai
CAROL-B (Cah Rolas Bahasa)
·
Guru-guru kami di SMAN 1 Bangsri, maaf Pak, Bu,
anak-anak Bapak dan Ibu sekalian di kelas Bahasa memang nakal hhe...
·
Teman-teman kami seangkatan yang masuk pada
tahun 2007 dan lulus pada tahun 2010
·
Dan adik-adik kami kelas Bahasa selanjutnya.
Semoga kalian bisa membuat kelas Bahasa menjadi kelas terbaik. Tunjukkan bahwa
kita adalah manusia yang patut dipuji.
Terima kasih, salam kangen dari
saya untuk kalian ^^
Hidup Bahasa!!
Comments
Post a Comment